Selasa, 22 November 2016

TUGAS SOSIOLOGI HUKUM

TUGAS
SOSIOLOGI HUKUM
”PENCABULAN TERHADAP ANAK DI BAWAH  UMUR DALAM KONTEKS SOSIAL






Dosen :
DR. Zainul Akhyar, M.H.
Oleh :
Irdawati                     (A1A215021)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2016

BAB I
Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat khusus nya dalam konteks social setiap orang tidak lepas dari pada suatu permasalahan yang adala dalam suatu lingkungan masyarakat yang mana dalam suatu hubungan timbal balik dan kepentingan yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya yang dapat ditinjau dari segi, misalnya segi agama, etika, social budaya, politik, dan termasuk pula segi hukum. Ditinjau dari kemajemukan kepentingan seringkali menimbulkan konflik yang berkepanjangan dari pada kepentingan tersebut, yang mana pada akhirnya melahirkan apa yang dinamakan tidak pidana.
Semakin tingginya nilai sebuah peradaban dari masa kemasa tentunya mampu memberikan kemajuan bagi kehidupan masyarakat, namun tidak dapat dilupakan juga bahwa di sisi lain dari kemajuan yang ditimbulkan akan membawa sebuah dampak yaitu dampak yang negative atau buruk bagi masyarakat, jika semua itu tentunya tidak ditempatkan pada tempatnya.
Perkembangan masyarakat yang merupakan sebuah gejala social yang biasa dan bersifat umum serta merupakan proses penyesuaian masyarakat terhadap kemajuan jaman. Perkembangan tersebut membawa dampak yang luar biasa yang dapat dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat tersebut termasuk tuntutan hidup.
Dalam masalah yang ada didalam sebuah konteks social yang mana salah satu nya yaitu masalah pencabulan terhadap anak dibawah umur yang mana tentunya akan berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya terhadap anak tersebut menjadi tidak berjalan sebagai mana mestinya yang diharapkan oleh sebagian masyarakan yang mana ditimbulakan dari segi pencabulan terhadap anaka dibawah umur tadi. Dalam dampak psikologis pada anak tersebut akan melahirkan trauma yang berkepanjangan yang kemudian akan melahirkan sikap tidak sehat yang ditimbulkan dalam sebuah lingkungan disekitarnya, yaitu seperti minder, ketakutan akan berlebihan, perkembangan jiwanya terganggu, dan pada akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental. Dalam keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi sebuah kenangan yang buruk bagi anak yang dibawah umur terhadap korban pencabulan tersebut.
Dalam pencabulan tersebut dapat dikatakan kejahatan dalam konteks social, yang mana kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang memerlukan penanganan secara khusus. Karena hal tersebut dikarenakan kejahatan akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk menanggulangi segala kejahatan pencabulan tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk memberantas segala kejahatan yang adala dalam masyarakat tersebut yang mana pada dasarnya sebuah perkembangan jaman terus berkembang dalam suatu masyarakat.
Perkembangan kemajuan masyarakat yang begitu pesat, di adalam kehidupan bermasyarakat, berdampak kepada suatu kecenderungan dari anggota masyarakat itu sendiri untuk berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, dan dalam interaksi ini sering terjadi suatu perbuatan yang melanggar hukum atau kaidah-kaidah yang mana telah di tentukan dalam masyarakat, dan dalam hal ini tidak semua anggota masyarakat mau untuk menaatinya, dan masih saja ada tyang menyimpang yang pada umumnya berperilaku tersebut kurang disukai oleh masyarakat.
Pencabulan adalah perilaku yang menyimpang dalam tindak pidana, yang merupakan perwujudan dari seseorang yang melakukan suatu perbuatan atau tindak yang melanggar rasa kesusilaan atau perbuatan lain yang keji. Dalam factor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan tersebut dikarenakan adalah sebagai berikut :
1.      Adanya kemajuan teknologi yang menghasilkan produk-produk baru dan semuanya semakin canggih, seperti film, video-vidio dan sebagainya yang isinya bisa membawa pengaruh negative.
2.      Adanya buku-buku bacaan ataupun majalah-majalah yang berbau pornografi yang terjual bebas.
3.      Masalah tekanan ekonomi
4.      Rendahnya pemahaman akan nilai-nilai agama
5.      Rendahnya nilai moral dalam suatu masyarakat.
Persoalan tersebut berkembang terus hingga sekarang, dapat dikatakan tidak ada perubahan yang berarti meski struktur dan budaya masyarakat berkembang menuju arah ke modern. Dari persoalan tersebut adanya sebuah tindak pidana pencabulan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, bahkan terjadi didesa-desa terpencil dan dipinggir kota pun yang berkembang kebanyakannya disebabkan oleh factor-faktor penunjang yang telah disebutkan diatas.
Penyebab terjadinya perbuatan asusila di kota-kota besar adalah rawannya keadaan kota, karena pada umumnya kota adalah impian bagi setiap orang di daerah yang mempunyai daya tarik tersendiri yang menyebabkan angka urbanisasi meningkat.hal ini lagi mengakibatkan penduduk di kota besar semakin padat, yang berakibat terjadinya pengangguran karena lapangan pekerjaan belum sebanding dengan banyaknya orang yang mencari pekerjaan. Hal ini erat kaitannya dengan awal-awal terjadinya perbuatan asuasila seperti pencabulan terhadap anak di bawah umur tadi, yaitu pada lelaki dewasa normal dimana kebutuhan biologisnya menurut untuk dipenuhi, sedangkan bila ia ingin melangsungkan perkawinan yang sah, hal itu tidak dapat dilaksanakannya, dikarenakan factor ekonomi yangmana melatar belakangi semua permasalahan tersebut, sehingga mereka mencari jalan lain untuk dapat menyalurkan kebutuhan biologinyya tadi, yang dengan cara tidak mengeluarkan biaya (melakukan pencabulan tadi). Hal ini didukung pula dengan adanya aktivitas dan kurangnya pendekatan terhadap nilai-nilai agama pada pelaku pencabulan tersebut.
Dalam tindak pidana pencabulan yang dapat terjadi dalam situasi dan lingkungan apa saja, misalnya seorang sipelaku memperkosa orang yang  dikenalnya, seperti ada hubungan keluarga, dan bahkan adanya suatu permasalahn tersebut yaitu pada pemerkosaan pada anak kandung sendiri.
Tindak pidana pencabulan dalam lingkungan keluarga ini tidak luput dari tekanan masalah factor ekonomi yang mana menjadikan sebuah factor utama dalam hal melakukan perbuatan yang melanggar asusila dalam kehidupan berkeluarga bermasyrakat dan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini mengharuskan mereka (ayah dan ibu dan juga anak-anaknya), tidur dalam satu ruangan yang mana keadaan seperti ini masih ditambah pula oleh rendahnya pemahaman akan nilai-nilai agama serta moral dan juga factor keadaan situasi rumah dan psikologis si pelaku pencabulan tersebut.
Masalah tindak pidana pencabulan dalam keluarga ini bukan menjadi rahasia lagi dalam hal ini terbukti dengan banyaknya pemberitaan di mesia massa maupun elektronik, yang memuat kasus-kasus tindak pidana pencabulan tersebut. Pada awalnya kasus pencabulan seperti ini sulit untuk di ungkap karena masih dianggap tabu untuk disebarluaskan, dan jika sempat diceritakan pada orang lain berarti akan membawa aib keluarga dan rasa takut akan anaman sipelaku terhadap korban sangat mempersulit pengungkapan kasus seperti ini. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi aparat penegak hukum dan lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, maka kejahatan ini sudah seharusnya mendapat sanksi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mengenai Anak Dibawah Umur
a.       Pengertian anak dibawah umur
Mengenai anak dibawah umur adalah anak yang mana amanah dan karunia dari tuhan yang Maha Esa yang mana anak tersebut dalam dirinya melekat sebgai manusia seutuhnya, anak merupakan makhluk social yang mana anak tidak dapat tumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya orang lain, karena anak lahir dengan segala kelemahan serta ketidak berdayaan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Jadi haruslah anak itu kita sebagai orang tua menjaga nyadan melindungi dikarenakan anak mempunyai suatu sifat dan ciri khusus dan juga pada anak adalah sebagai potensi tumbuh kembang bangsa di masa yang akan datang, dan juga anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari perlakuan salah dari orang lain.
Anak merupakan tunas sumber potensi dan generasi muda penerus perjuangan cita-cita bangsa dimasa yang akan datang nantinya, oleh karena itu harus kita jaga dan lindungi dari perbuatan buruk ataupun sebagai korban daripada perbuatan buruk dari seseorang.
b.      Kategori batasan anak dibawah umur
Untuk mengetahui apakah seseorang itu termasuk anak-anak atau bukan, tentu harus ada batasan yang mengaturny, dalam hal ini beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur tentang usia anak yang di katogorikan sebagain anak yang antara lain sebagai berikut.
1.      Kitab Undang0undang Hukum Pidana
Di dalam KUHP yang dikata gorikan sebagai anak terdapat dalam pasal 287 ayat 1 KUHP yang pada intinya usia yang dikata gorikan sebagai anak adalah seorang yang belum mencapai umur 15 tahun.
2.      Kitan Undang-undang HUkum Perdata
Didalam undang-undang Hukum Perdata yang dikategorikan usia seorang anak ialah seseorang yang belum dewasa seperti yang tertuang pada pasal 330 KUHPerdata.
·         Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak.
Didalam undang-undang ini pada pasal 1 ayat (2) menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum mencapai batas usia 21 (Dua Puluh Satu) tahun dan belum pernah kawin[10]. Dalam pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikategorikan sebagai anak adalah dibawah usia dua pulus satu tahun dan belum pernah kawin.
·         Undang-undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Di dalam undang-undang ini, yang dikategorikan sebagai anak terdapat dalam pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan “anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 tahun (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (Delapan Belas tahun) dan belum pernah kawin[11]. Dari penjelasan pasal tersebut dapat diperhatikan bahwa yang dikatakan sebagai anak adalah seseorang yang berumur dari delapan tahun sampai delapa belas tahun.
·         Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Di dalam Undang-undang ini yang dikategorikan sebagai anak tertuang pada pasal 1 ayat 1 (5) yang menyebutkan “anak sebagai manusia yang berusia dibawah 18 tahun (Delapan Belas) Tahun dn belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demo kepentingan nya. Menurut pasal ini yang dikategorikan sebagai anak ialah mulai dalam kandungan sampai usia delapan belas tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Menurut pasal tersebut diatas bahwa yang dikategorikan sebagai anak ialah seorang yang berusia dibawah delapan belas tahun sampai dalam kandungan sekalipun masih dapat dikategorikan sebagai anak.
·         Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pada pasal 1 ayat (4) yang menyebutkan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (Delapan Belas) tahun[14]. Berarti kategori dikatakan usia seorang anak menurut pasal ini adalah belum berusia delapan belas tahun.
       Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak seragam dalam menentukan bagaimanakah dapat dikatakan sebagai anak, akan tetapi setiap perbedaan pemahaman tersebut, tergantung situasi dan kondisi dalam pandangan yang mana yang dipersoalkan nanti.
B.     Mengenai Pencabulan
1.      Pengertian pencabulan
Dalam pasal 289 KUHP yang dimaksud dengan pencabulan adalah barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksaseseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salah nya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun penjara.
Pendapat para ahli dalam mendefinisikan tentang pencabulan berbeda beda seperti yang dikemukakan soetandyo Wignjosoebroto yaitu “pencabulan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seseorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang melanggar” dari pendapat tersebut berarti pencabulan tersebut di satu pihak merupakan suatu tindakan atau perbuatan seorang laki-laki yang melampiaskan sebuah nafsu tadi yang mana untuk seorang perempuan yang mana perbuatan tersebut tidak mempunyai moral dan dilarang menurut hukum yang berlaku.
2.      Unsur unsur pencabulan
Secara umum unsur-unsur pencabulan terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang bersifat obyektif dan bersifat subyektif seperti tercantum dalam pasal 289.
a.       Unsur obyektif
Unsur-unsur pencabulan merupakan unsur yang terpenting dalam tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur, hal ini disebabkan apabila perbuatan pencabulan tidak terjadi maka perbuatan tersebut belumlah dapat dikatakan telah terjadi perbuatan percabulan. Dalam perbuatan perbuatannya yaitu adalah orang dewasa dan pada obyeknya yaitu orang sesamajenis kelamin.
b.       Unsur Subyektif
Sedangkan unsur subyektifnya Cuma ada satu, yaitu yang diketahui belum dewasa atau patut didugaya belum dewasa. Sama seperti persetubuhan untuk dalam kejahatan yang satu ini di perlukan dua orang yang terlibat. Kalau persetubuhan terjadi antara dua orang yang berlainan jenis, tetapi ada perbuatan ini terjadi karena diamintara dua orang yang sesama kalamin baik itu laki-laki sama laki laki yaitu dapat dikatakan sodomi.ataupun dengan perempuan dengan perempuan lesbian. Walaumpun terjadi an
Tara dua orang yang sesama kelamin, tetapi yang menjadi subyek hukum kejahatan yang di bebani tanggung jawab pidana adalah siapa yang diantara mereka berdua orang yang telah dewasa, sedangkan yang lain haruslahbelum dewasa. Pembebasan terhadaptanggung jawab pada pihak orang yang telah dewasa, sedangkan yang lain harus lah belum dewasa pembebasan tanggung jawab disini adalah pada pihak orang yang telah dewasa. Wajar karena rasio dibentuknya kejahatan pencabulan ini adalah untuk melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan hukum.
C.    Mengenai Tindak Pidana
1.      Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana yang dikenal didalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) yang mana pembentuk undang-undang mengenalnya dengan istilah strafbar feit.di dalam bahasa Belanda, Strafbar yang berarti dapat dihukum, sedangkan feit yang berarti suatu kenyataan atau fakta. Strafbar feit menurut pendapat Simons ialah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Pengertian tindak pidana merupakan suatu dasar dalam ilmu hukum terutama hukum pidana yang dimana ditujukan sebagai suatu istilah perbuatan yang melanggar norma-norma atau aturan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana harus  memenuhi syarat-syarat seperti :
1.      Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
2.      Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3.      Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.
4.      Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu Dari syarat-syarat di atas, perbuatan yang dapat dikatakan suatu tindak pidana ialah perbuatan yang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum atau undang-undang yang berlaku dan disertai ancaman hukumannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
5.      mencantumkan sanksinya.
D.    Permasalahan Pencabulan terhadap Anak di bawah Umur dalam konteks social
Pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam melakukan suatu tindak pidananya dilakukan dengan berbagai macam cara untuk pemenuhan atau pencapaian hasrat seksualnya, tidak hanya anak-anak yang menjadi korban akan tetapi anak terkadang dapat menjadi seorang pelaku pencabulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur ialah sebagai berikut :
1.      Factor lingkungan
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. Hal ini dapat terjadi dikarenakan situasi dan keadaan dari lingkungan tempat tinggal yang mendukung dan memberi kesempatan untuk melakukan suatu tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur
2.      Factor kebudayaan
Kebudayaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dalam hubungannya dengan masalah ini merupakan suatu hasil karya yang diciptakan dan secara terus-menerus diperbaharui oleh sekelompok masyarakat tertentu atau dengan kata lain perkembangan suatu ciri khas masyarakat pada suatu daerah seperti gaya hidup manusia atau masyarakat.
3.      Factor Ekonomi
Ekonomi merupakan suatu penunjang kehidupan setiap manusia, ekonomi atau keuangan dapat merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu pencabualan terhadap anak di bawah umur. Dalam hal yang dimaksud tersebut ialah apabila seseorang mengalami himpitan atau kesusahan dalam bidang perekonomian, hal tersebut dapat menganggu akal pikirannya dan dapat mengakibatkan orang tersebut akan mengalami stres berat, sehingga dapat membuat orang tersebut dapat melakukan sesuatu hal yang tak bisa dikontrol oleh dirinya sendiri. Hal ini cenderung di kehidupan berkeluarga dan pengangguran yang dapat melakukan tindakan apa saja yang tak bisa dikontrol oleh dirinya sendiri akibat dari kemerosotan perekonomian dalam kehidupannya.
4.      Factor Media
Salah satu faktor yang turut serta mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur ialah faktor media. Media merupakan sarana yang efisien dan efektif dalam menyebarluaskan informasi kepada masyarakat luas, karena dengan biaya yang relatif sesuai dengan kemampuan dan mampu menjangkau masyarakat dalam waktu yang cukup signifikan.
5.      Factor kejiwaan dan Psikologi
Faktor kejiwaan dalam hal ini dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. Beberapa dokter ahli jiwa mengemukakan pendapat, “bahwa perbuatan kejahatan itu selalu disebabkan oleh beberapa ciri-ciri atau sifat-sifat seseorang, yang merupakan pembawaan dari suatu keadaan penyakit jiwa.
Dari ke lima factor tersebut dimana sebuah kejahatan pencabulan terhadap anak dibawah umur itu terjadi jika semua permasalahan atau factor tersebut dapat diatasi adanya sebuah upaya yang untuk menanggulangi sebuah tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur tersebut.
E.     Penegak Hukum
Permasalahan penegak hukum ialah masalah yang sangat serius bagi suatu negara khususnya di negara Kesatua Republik Indonesia. Oleh karena itu masalh tersebut bukan permasalahan yang sangat mudah untuk menemukan solusi jalan keluarnya tetapi masalhnya terletak pada praktek penegak hukum itu sendiri.
Pada kasus pencabulan terhadap anak dibawah umur banyak terjadi permasalahan mengenai bagaimana hukum dalam menegakan keadilan bagi para pelaku pencabulan tersebut yang dihukum dengan hukuman yang dapat dikatakan hukuman tersebut tidak dapat membuat perilaku para pelaku tersebut berubah menjadi baik, sehingga dalam permasalahan ini menyebabkan korban merasa tidak mendapatkan keadilan yang efisien oleh kejahatan apa yang telah pelaku lakukan terhadap korban khususnya anak di bawah umur. Dalam konteks hukum. Hukum adalah aturan untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegak hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.
Perlu dipahami bahwa kualitas pembangunan dan penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, akan tetapi adalah kualitas materil atau substansial. Kemudian, strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum, harus ditujukan pada kualitas substantif yang dimana opini yang dituntut masyarakat yang berkembang dituntut saat ini, yaitu antara lain:
2.      Adanya perlindungan hak asasi manusia.
3.      Adanya nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan keyakinan antara masyarakat berserta pemerintah dan penegak hukum.
4.      Bersih dari praktik pilih kasih, korupsi, kolusi, dan nepotisme, mafia peradilan dan penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan.
5.      Terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
6.      Terwujudnya penegakan hukum yang efisien dan tegaknya kode etik dan profesi penegak hukum.
Penegakan hukum dalam suatu kasus perkosaan yang dilakukan oleh pelakunya orang dewasa terhadap korban yang masih di bawah umur kurang efisien diterapkan dalam kenyataannya, hal tersebut disebabkan terdapat faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut yang antara lain sebagai berikut :


1.      Factor Hukum
Pada faktor hukumnya, maksudnya dalam hal kaitannya mengenai undang-undang yang berlaku di Indonesia yang semakin beragam bentuk serta tujuannya dan hampir dalam kehidupan sehari-sehari masyarakat harus menaati peraturan tersebut.
Dalam setiap peraturan perundang-undangan memiliki kelemahan-kelemahan dalam setiap pasalnya, banyaknya perundang-undangan dibuat yang bertujuan untuk menekan angka pelanggaran dan kejahatan, akan tetapi dalam kenyataannya angka pelanggaran dan kejahatan itu semakin meningkat dari tahun ke tahun, peningkatan tersebut disebabkan ialah kurangnya masyarakat memahami undang-undang tersebut serta kurangnya sosialisasi mengenai penyuluhan hukum mengenai undang-undang pada masyarakat.
2.      Factor penegak hukum
Penegakan hukum tidak akan berjalan dengan baik, apabila tidak didukung oleh para penegak hukumnya yang khususnya bergerak di dalam bidang hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengacara, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan. Lemah kuatnya suatu penegakan hukum berasal dari para penegak hukumnya, jika para penegak hukumnya lemah, maka masyarakat akan mempersepsikan bahwa hukum dilingkungannya tidak ada atau seolah masyarakat berada dalam hutan rimba yang tanpa aturan satu pun yang mengaturnya.
Saat ini dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita ternyata telah berkembang menjadi begitu kompleks. Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekedar masalah teknis prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, akan tetapi, masalah hukum yang menjadi polemik adalah seputar bagaimana mempersiapkan yang belum ada dan menyesuaikan yang tidak lagi cocok dalam rangka proses transplantasi hukum secara besar-besaran yang berjalan mengiringi proses pertumbuhan tatanan baru globalisasi. Dalam kondisi seperti ini, permasalahan hukum bukan lagi hanya persoalan eksklusif yang berkaitan dengan perlindungan atas hak dari segelintir orang. Yang terjadi dalam masyarakat seperti ini adalah dihadapkannya kenyataan bahwa permasalahan hukum merupakan permasalahan setiap orang. Di sisi lain, proses transplantasi tersebut juga menuntut negara dan masyakarat untuk menanggulangi distorsi yang ada agar tidak terus-menerus menjalar dan menggerogoti seluruh institusi dan infrastruktur pendukung sistem hukum Indonesia.
Salah satu contohnya adalah bahwa pengadilan saat ini tidak lagi berperan sebagai ruang sakral di mana keadilan dan kebenaran diperjuangkan, tapi telah berubah menjadi pasar yang menjadi mekanisme penawaran dan permintaan sebagai dasar putusannya. Sedangkan disisi lain perkara hukum menjadi tolak ukur demi keadilan masyarakat serta martabat kemanusiaan yang menjadi taruhan utamanya.
Yang perlu diperhatikan ialah mengenai kebutuhan akan etika, standar dan tanggung jawab sebagai nilai-nilai pokok para penegak hukum yang akan mendukung dan menjamin keberlanjutan terselenggaranya proses pencarian keadilan yang sehat. Faktor yang ikut menuntut mencuatnya debat tersebut berada di sisi masyarakat yang dari waktu ke waktu semakin tergantung kepada keahlian dan keterampilan dari sekelompok orang yang disebut kaum profesional. Kondisi ketergantungan tersebut pada akhirnya menempatkan etika profesi sebagai salah satu sarana kontrol masyarakat terhadap profesi, yang dalam hal tertentu masih dapat dinilai melalui parameter etika umum yang ada di dalam masyarakat. Dengan begitu, telaah lebih lanjut mengenai dimensi moral dari profesi penegak hukum dan berkaitan erat dengan makna, fungsi dan peranan penegak hukum beserta kode etik yang mengatur mengenai profesi penegak hukum itu sendiri.
Kehormatan, keberanian, komitmen, integritas, dan profesional adalah merupakan dasar bagi para penegak hukum. Sudah sejak dahulu profesi para penegak hukum dianggap sebagai profesi mulia. Oleh karena itu seorang para penegak hukum dalam bersikap haruslah menghormati hukum dan keadilan, sesuai dengan kedudukan aparat penegak hukum tersebut sebagai the officer of the criminal. Sudah merupakan suatu keharusan bagi para penegak hukum memahami kode etik profesi dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Kode etik profesi ini bertujuan agar ada pedoman moral bagi para penegak hukum dalam bertindak menjalankan tugas dan kewajibannya. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya tidak maju bahkan tidak tegak.

3.      Factor sarana atau fasilitas
Sarana atau fasilitas dibidang hukum harus benar-benar berjalan secara baik dikarenakan sarana atau fasilitas tersebut menjadi sebuah dukungan demi kelancaran penegakan hukum di Indonesia. Sarana atau fasilitas yang dimaksud mencakup mengenai proses perkara pidananya.
Dalam kasus pencabulan yang korbannya ialah anak di bawah umur, korban sangat menginginkan dalam pengaduannya diperhatikan oleh para penegak hukum, akan tetapi dalam kenyataannya yang sekarang terjadi korban perkosaan khususnya anak di bawah umur dipersulit.
4.      Factor masyarakat dan kebudayaan
Dalam kehidupan bermasyarakat, penegakan hukum menjadi tolak ukur bagi masyarakat untuk merasakan suatu keadilan. Mengenai kasus perkosaan dimana masyarakat sangat berperan aktif dalam masalah penegakan hukum, maksudnya masyarakat harus mendukung secara penuh dan berkerja sama dengan para penegak hukum dalam usaha penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi masyarakat di daerah yang mempunyai pengaruh adat yang sangat besar belum mempercayai dengan secara penuh tentang adanya hukum yang berlaku di negara ini, dikarenakan mereka masih percaya dengan hukum adatnya sendiri atau dengan kata lain masyarakat yang mempunyai cara tersendiri untuk menegakan aturan yang berlaku di daerahnya tersebut atau dengan kata lain main hakim sendiri dengan cara menikahkan pelaku dengan korban ataupun memukuli pelaku yang pada dasarnya bertujuan agar pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban. Dari faktor-faktor yang tersebut di atas mungkin dapat mempengaruhi penegakan hukum khususnya dalam kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur karena perbuatan yang melanggar hukum harus senantiasa dilengkapi dengan organ-organ penegakannya yang tergantung pada faktor-faktor yang meliputi :
a.       Harapan masyarakat, yakni apakah penegakan hukum tersebut sesuai atau tidak dengan nilai-nilai masyarakat.
b.      Adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan melanggar hukum kepada organ-organ penegak hukum tersebut.
c.       Kemampuan dan kewibawaan dari organisasi penegak hukum.
Penegakan hukum yang konsisten harus diupayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang berlu di negara Indonesia sekarang ini. karena masyarakatlah ialah factor yang sangat berperan aktif mendukung proses penegakan hukum pada akhir-akhir ini di media masa banyak masalah yang timbul seperti adanya mafia hukum yang dimana hukum digunakan sebagai alat kekuasaan bagi mereka yang menjadi oknumnya sehingga membuat kepercayaan masyarakat pada hukum yang berlaku di Indonesia mulai musnah sedikit demi sedikit oleh sebab itu, para aparat penegak hukum harus lebih di upayakan profesionalitas, kejujuran dan bersih dari permainan yang di buat oleh oknum-oknum tertentu dalam kinerjanya di bidang penegakan hukum. Peranan hukum dalam masyarakat yang bebas ialah to enforce the truth and justice, yaitu penegakan kebenaran dan menegakkan keadilan. Hal ini dapat terwujud bila penegakan hukum dilakukan tanpa pandang bulu atau pilih kasih dan tidak ada diskriminasi ataupun tidak bersifat berat sebelah atau imparsial.
F.     Perlindungan Terhadap Korban Anak Akibat Pencabulan
Banyaknya kasus mengenai kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai suatu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung bagi anak. Perlindungan anak ialah “suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.
Bentuk-Bentuk Perlindungan Anak
Masalah anak memang bukan suatu masalah kecil yang dengan hanya membalikan telapak tangan saja, akan tetapi anak ialah sebagai generasi penerus bangsa dan negara. Usaha perlindungan terhadap anak yang menjadi korban pencabulan telah diupayakan sedemikian rupa, mulai dari pendampingan kepada korban sampai pada pembinaan mental korban akibat peristiwa perkosaan yang dialami oleh korban. Faktor-faktor yang mendukung pelayanan terhadap anak korban kejahatan menurut Arif Gosita ialah sebagai berikut :
a.       Keinginan untuk mengembangkan perlakuan adil terhadap anak dan peningkatan kesejahteraan anak.
b.      Hukum kesejahteraan yang dapat mendukung pelaksanaan pelayanan terhadap anak korban kejahatan.
c.       Sarana yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan pelayanan terhadap anak korban kejahatan



BAB III
ANALISIS
Kejahatan pencabulan merupakan bagian dari kejahatan terhadap kesusilaan, dimana perbuatan cabul tersebut tidak saja terjadi pada orang dewasa tetapi juga terjadi pada anak dibawah umur. Baik secara langsung maupun tidak langsung anak-anak menjadi korban kejahatan pencabulan tersebut, dalam hal mengalami sebuah pencabulan tersebut adanya berbagai gangguan terhadap dirinya baik itu fisik maupun non-fisik yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut. Pelaku kejahatan pencabulan terhadap anak dibawah umur dalam melakukan suatu kejahatan dilakukan dengan berbagai macam cara untuk melakukan suatu kejahatannya dilakukan dengan berbagai macam cara untuk pemenuhan atau pencapaian hasrat seksualnya. Dalam kasus pencabulan yang terjadi di Indonesia yang bermacam macam bentuk dan modus yaitu seperti dirayu, diancam, dipaksa, ditipu dan lain sebagainya. Yang mana akan menimbulkan sebuah kejahatan pencabulan di kalangan masyarakat tersebut.  Para pelaku tersebut dapat dikatakan sebagai oknum pidana yangamana dapat dijatuhi oleh hukuman dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara sekarang ini karena sebuah hukum yang mengikat sipelaku agara bagaimana mendapatkan sebuah hukuman daripada perbuatan kejahatan pencabulan terhadap anak dibawah umur tadi. Dalam melakukan sebuah penjatuhan hukumaan bagi pelaku pencabulan terhadap anak dibawah umur. Maka dari itu peraturan per undangan-undangan yang berlaku di Indonesia ialah sebagai berikut :
1.      Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan terhadap anak dibawah umur menurut kitab undang undang hukum pidana (KUHP). Adalah sebagai berikut:
d.      Pada pasal 285 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
e.       Pada pasal 286 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan istrinya, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
f.       Pada Pasal 287 KUHP berbunyi :
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata , belum mampu kawin diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
2.      Sanksi Pidana Bagi Pelaku Pencabulan Terhadap Anak Di Bawah Umur Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
a.       Pasal 81 ayat (1) yang berbunyi :
Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
b.      Pasal 81 ayat (2) yang berbunyi :
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Dalam hal diatas dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur jalannya sebuah tingkah laku masyrakat yang mana tanpa adanya sebuah kejahatan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Maka dari itu setiap warga negara lah yang akan mekakukan sebuah penegakan hukum yang ada di Indonesia ini, lain itu adanya suatu pemahaman yang mana harus ada nya sebuah taat hukum terhadap peraturan peraturan yang sudah dibuat pemerintah untuk anggota masyarakat. Sehingga melakukan sebuah kemasyarakatan berjalan sebagaimana yang dinginkan yaitu adanya sebuah rasa nyaman damai tentram dalam suatu masyarakat tersebut. Sehingga tidak adanya lagi sebuah yang mana melakukan hal hal yang dilarang oleh hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini.



BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diseluruh materi yang diuraikan mengenai permasalahan yang dikemukakan tentang Pencabulan terhadap anak dibawah umur dalam konteks sosial, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Korban tindak pidana pencabulan selain mengalami penderitaan fisik juga mengalami penderitaan mental yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang dialami korban tindak pidana pencabulan tidak singkat untuk bisa memulihkan, maka aparat penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana pencabulan yang diimplementasikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum untuk memberikan keadilan bagi korban.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan mempengaruhi terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yaitu factor lingkungan, faktor kebudayaan, faktor ekonomi, faktor media, dan factor psikologi atau kejiwaan pelaku.
Kordinasi antara masyarakat bersama pemerintah dan penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur berupa pencegahan seperti meningkatkan keamanan, memberantas film dan bacaan porno, membina, mengawasi dan mengontrol anak dan lain sebagainya. Upaya penanggulangan jika tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur terlanjur terjadi seperti meningkatkan profesionalisme dari para penegak hukum serta media cetak maupun elektronik dapat ikut serta dengan cara memberitakan kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur disertai ancaman hukumannya.
B.     Saran
Dalam hal Perlindungan Hukum terhadap anak dibawah umur Seharusnya dalam menyelenggarakan perlindungan bagi anak dibawah umur adanya sebuah pemberian penanaman motivasi yang mana akan menjadikan anak akan menjadi orang yang tak minder akan sebuah lingkungan yang tinggal jika dia berada dalam suatu lingkungan tersebut, maka dari itu pemerintah tentang hak perlindungan anak yang mana mengharuskan sebuah sekolah yang membolehkan anak jadi korban dalam hal pencabulan anak tersebut agar dia tumbuh sebagaimana dengan anak anak yang sebaya dengan anak tersebut.
Meningkatkan mentalitas, moralitas, serta keimananan dan ketaqwaan pada diri sendiri yang bertujuan untuk pengendalian diri yang kuat sehingga tidak mudah tergoda untuk melakukan sesuatu yang tidak baik, dan juga untuk mencegah agar dapat menghindari pikiran dan niat yang kurang baik di dalam hati serta pikirannya.
Para penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam menindak para pelaku agar lebih terarah dan tajam sesuai dengan apa yang telah pelaku lakukan terhadap korbannya, serta mengedepankan hak-hak anak sebagai korban pencabulan.

Daftar Pustaka
Daliyo, J.B, Pengantar Hukum Indonesia, Prenhallindo, Jakarta, 2001.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi 1 Cet. 6, RajaGrafindo Persada, 2005.
Solahudin, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Acara Pidana, Dan Perdata, Cet. 1, Visimedia, Jakarta, 2008.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar